Sabtu, 30 Agustus 2008

Melihat Buku Pelajaran yang Mahal dan Kemiskinan di sekeliling kita.

Tulisan ini merupakan hasil diskusi atau tanggapan dari rekan saya Mas Agorsiloku. Agar anda sekalian lebih nyambung dengan isi tulisan ini, rasanya bagus juga jika anda berkunjung juga di blognya Mas Agor sehingga tahu kronologisnya.


http://agorsiloku.wordpress.com/2008/08/28/uang-pembangunan-rp-5-juta-masuk-kelas-1-sma/#comment-22156


http://agorsiloku.wordpress.com/2008/08/29/penyediaan-buku-donload-bse-dan-polemiknya/#comment-22160


Dalam dua postingannya Mas Agor mengkritik (Kalau saya nggak salah tangkep ) mengenai penyediaan buku BSE . Kalau selama ini kritik lebih tertuju kepada waktunya yang dirasa terlalu mepet dengan tahun ajaran baru, serta harga cetaknya yang “tidak masuk” bagi penerbit. Selain membicarakan harga cetak yang menurut Mas Agor diplot terlalu rendah, Mas Agor juga melihat faktor buku ini dari sisi budaya masyarakat yang menganggap bahwa buku itu mahal. Sementara untuk hal lain yang relatif menurut beliau tidak/kurang bermanfaat tidak dianggap mahal. Sebagai contoh rokok misalnya. Merokok klepas-klepus nggak mahal, kok giliran beli buku selalu mengeluh mahal.


Lha saya sendiri cenderung melihat ini dari sudut daya beli atau kemampuan masyarakat. Artinya : Harga buku secara umum menurut saya memang mahal. Termasuk buku-buku pelajaran.


Jadi kalo dari sisi Mas Agor : Harga Buku dianggap mahal karena masyarakat tidak melihat buku dari sisi investasi. Kalo menurut saya : Harga buku itu tetap masih saya anggap mahal dus meskipun saya sendiri menyukai membaca dan membeli berbagai buku. Kalo Mas Agor rela makan di Warteg demi membeli buku ketimbang makan di restoran tapi nggak bisa beli buku. Rasanya saya pun juga demikian. Jadi jangan dikira orang yang menganggap buku itu mahal hanyalah orang-orang yang karena faktor “budaya” menganggap buku kurang penting. Atau jangan-jangan karena saya menganggap buku itu masih “mahal”, saya dianggap tidak memandang “buku itu sebagai investasi ? “ hik hik entahlah. Saya sendiri tidak tahu menganggap buku sebagai apa ? Yang jelas sebagai kebutuhan yang cukup penting. Apakah kebutuhan itu investasi ? Saya agak susah menjawabnya. Karena kalo kita bicara soal investasi tentu ada harapan atau target tertentu. Saya sendiri malah nggak pernah mikir target apa-apa saat membaca atau membeli sebuah buku.



Dari sisi sudut pandang buku sebagai investasi ini juga kemudian muncul dua pandangan unik.

Yang pertama buku itu sebagai investasi, karena itu saya nggak urusan mahal atau murah ya saya beli. Kalo yang namanya investasi ya nggak ada yang dianggap mahal, toh nantinya akan kembali dalam bentuk yang lebih besar.

Yang kedua saya rasa yang namanya investasi itu nggak harus selalu atau setidaknya dimulai dari yang mahal-mahal. Saya tahulah dalam dunia bisnis/investasi ada pepatah : kalau nggak pake umpan besar maka nggak bisa mendapatkan ikan besar. Itu masuk akal.


Tetapi di sini saya mencoba berempati atau mencoba melihat juga dari sisi kemampuan. Artinya harus ada “peluang investasi” untuk berbagai kalangan masyarakat – termasuk untuk masyarakat yang kurang mampu. Jadi nggak mesti harus kaya dulu baru bisa investasi.


Masalah makan di warteg untuk berinvestasi, saya rasa masih oke-oke saja, bagi kita yang dulunya biasanya makan di restoran. Tetapi bagaimana untuk mereka yang startnya sejak awal memang sudah makan di warteg atau makan indomie sehari dua kali ???


Andai saya ini bicara sebagai seorang motivator bangsanya Andrie Wongso, dkk, saya akan ngomong begini ke khalayak : Ada banyak jalan ke Roma, bro. Tuhan selalu punya jalan. Jalan untuk apa ? ?? Ya untuk beli buku sepanjang anda targetkan dulu bahwa anda mau beli buku.


Salahkah omongan kayak gini ? Dari sisi memberi motivasi atau “mengubah budaya ke arah yang benar “ itu benar. Tetapi kalau kita melihat masalah perbukuan (yang mahal) ini juga sebagai masalah sosial masyarakat. Tentu juga harus ada sisi lain yang perlu diperbaiki.


Intinya kalo saya membuat analogi (mudah-mudahan analogi ini nggak nyimpang jauh yah) :


Kita sebenarnya mau melihat nggak mampu membeli buku atau gampangnya kemiskinan secara umum seperti apa ???


Saya pernah tanya ke Mas Agor - Dengan bahasa yang sedikit lain saya tanyakan kembali ke anda semua : Kalo anda ini anggap saja tokoh agama (bukan tokoh agama bahkan yang ngaku atheis juga boleh menjawab). Kemudian ada seorang miskin yang bertanya secara kritis kepada anda :


Pak, kemiskinan di Indonesia ini kan terkait dengan sistem, saya sudah capek-capek bekerja keras tapi miskin terus sementara banyak aturan yang menguntungkan orang-orang kaya. Lha saya harus bagaimana Pak ???


Karena kemiskinan itu terkait dengan banyak aspek, maka ada berbagai kemungkinan jawaban di sini. Tentu anda boleh menjawab sendiri yang lain, saya coba memberi gambaran saja :


Jawaban Pertama : “Yah pasrah saja Pak, Gusti mboten sare. Yang penting kan masih bisa makan, ya tetap harus bersyukur Pak ” ----- Tokoh X melihat kemiskinan sebagai takdir Tuhan.


Jawaban Kedua : “Yah mungkin anda harus berusaha lebih keras lagi. Atau pake jalan lain saja Pak. Jangan menyerah Pak, jangan lupa berdoa juga sama Tuhan ----- Tokoh Y melihat kemiskinan sebagai usaha manusia yang belum berhasil.


Jawaban Ketiga : “Kalo ada aturan yang nggak bener, ya kita protes bareng-bareng dong. Harus kita perbaiki bareng-bareng. Nggak boleh apatis. “ Tokoh Z melihat kemiskinan sebagai akibat ketidakadilan sistem yang perlu diperbaiki. Karena agama juga mengajarkan soal keadilan. Maka wajar bila kita juga harus protes.


Mari kita telaah masing-masing logika para tokoh di atas :


Logika tokoh X berpotensi terpeleset mendorong manusia menjadi kurang mampu berusaha. Tapi logika ini punya pesona tersendiri dalam mengurangi rasa menderita manusia. Dari sisi tokoh Y, logika X mungkin dikritik karena sifatnya yang terlalu pasif. Dari sisi tokoh Z, logika ini juga dikritik karena dianggap tidak menyelesaikan masalah sosial yang ada. Serta melindungi kaum kaya dari kemarahan orang-orang miskin.


Logika tokoh Y meskipun ada benarnya dalam bentuk yang paling ekstrim berpotensi menjustifikasi orang-orang miskin. Saya kaya karena kerja keras. Lo miskin karena males, karena goblok karena nggak mau berusaha sama seperti saya. Logika ini punya pesona dalam hal menyemangati manusia, tetapi kalo si miskin tetap miskin terus – maka logika ini bisa dianggap sangat ngeselin. Tokoh X melihat logika ini benar meskipun bisa berbahaya bila sampe batas kesabaran tertentu hasil usaha manusia belum berhasil. Tokoh Z melihat logika ini lebih berbahaya lagi dan mungkin bisa dianggap sangat menjengkelkan dari sisi kritik sosial karena seolah menyalahkan kemiskianan semata-mata di pundak orang-orang miskin. Sudah miskin, sudah diperas oleh sistem yang nggak bener, masih di salah-salahkan lagi karena dianggap nggak mau berusaha.


Logika tokoh Z secara umum, oleh banyak tokoh agama dianggap terlalu kritis, sehingga berakibat buruk kepada “kedamaian masyarakat” meskipun jelas-jelas agama sendiri mengajarkan kalo ketidakadilan harus diberantas. Dari sisi tokoh X, logika ini dianggap berbahaya, dari sisi tokoh Y, logika ini juga bisa dianggap sekedar logika salah menyalahkan. Tokoh X dan tokoh Y juga mungkin cenderung melihat logika terakhir ini tidak realistis untuk dilaksanakan, kalo dilihat dari sisi si Miskin. Orang miskin memangnya bisa apa ? Dema-demo ujung-ujungnya digebukin mendingan disuruh bekerja keras dan berdoa saja. Itu lebih masuk akal. Dari sisi tokoh Z, sistem yang nggak bener ya harus diprotes bareng-bareng. Lha kalo cuma beraninya mengeluh di belakang apa pemerintah punya telinga dukun ? Kalau protes nggak didenger ya protes lagi sampe didenger.


Logika mana yang anda pake tentu hanya anda yang tahu, Syukur-syukur bila anda berbaik hati mau membagikan pikiran anda. Hik hik bicaralah mumpung masih tak gratiskan lho.


Atau mungkin saja akan jauh lebih gampang bila kita pake logika lain lagi :


Eh emangnya memang ada ya orang miskin yang tanya kritis kayak gitu ? Kayaknya paling-paling itu karangan elo aja deh.


Kalau yang terakhir itu tanggapan anda, yah saya cuma mau mengatakan : Anda benar saudaraku.


====


Saya sebenarnya mau nulis agak panjang. Apalagi alternatif solusi masalah perbukuan juga belum ke bahas sama sekali. Tapi ....? Yah Ntar ya ? tak sambung lain kali aja deh.


SALAm Semuanya ...-


0 komentar:







Posting Komentar

Terimakasih telah Berkunjung ....Ditunggu Komentarnya Lho....Silahken Silahken.... ^_^