Sabtu, 18 Juli 2009

Bom JW Marriot dan Ritz Carlton : BOM Lagi – Duh Bom Lagi

Kemarin sekitar pukul 7.40 WIB, bom kembali meledak di Jakarta. Serangan bom terjadi di dua hotel berbintang di Jakarta yaitu hotel JW Marriotz dan hotel Ritz Carlton. Berita terakhir dari stasiun-stasiun televisi, korban tewas setidaknya delapan atau sembilan orang, sedangkan sekitar lima puluh orang terluka. Selain efek langsungnya, dampak lanjutannya : warga Negara asing mempercepat waktu kunjungannya di Indonesia, terjadi penumpukan warga asing di bandara, serta klub sepakbola Inggris MU yang rencananya dalam waktu dekat dijadwalkan berkunjung ke Indonesia , membatalkan kunjungan mereka karena alasan keselamatan.

Presiden kita tercinta Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus capres terpilih 2009 versi Quick Count mengutuk keras peristiwa tersebut. Yang lumayan mengejutkan - SBY mengaitkan peristiwa pemboman tersebut dengan data intelejen lain yang dia terima : Upaya pendudukan paksa KPU , revolusi jika SBY menang, upaya membuat Indonesia seperti Iran yang saat ini rusuh setelah pemilu, upaya menggagalkan Pelantikan SBY, dsb – yang arahnya “menyentil” pasangan capres dan cawapres yang lain. Pasangan Mega-Prabowo yang merasa terganggu dengan pernyataan SBY tersebut kemudian gantian memberikan pernyataan yang intinya menuduh SBY telah mempolitisasi peristiwa pengeboman untuk menyerang pasangan capres/cawapres lain.

Kita sendiri tentu tidak tahu apakah memang peristiwa pengeboman kali ini ada kaitan sistemis dengan upaya pihak lain menjegal SBY, atau sesuatu yang parallel masing-masing sebenarnya berdiri sendiri. Artinya pengeboman Jakarta adalah satu kasus , upaya menggagalkan pelantikan SBY adalah peristiwa lain lagi.

Terlepas dari apakah memang ada hubungan antara Pemilu dan BOM di Jakarta, karena pernyataan SBY disampaikan pada moment paska pengeboman dan disampaikan pada satu waktu yang sama, seolah ini mengesankan kalau SBY menganggap dua peristiwa tersebut berkaitan. Sisi baik pernyataan SBY tersebut bagi SBY dan KPU, ini akan menjadi semacam tekanan bagi capres/cawapres lain yang ingin memprotes hasil Pemilu, yang ingin demo dan sebagainya. Karena masyarakat akan mengaitkan mereka dengan bom dan menjadi antipati. Upaya menggagalkan hasil Pemilu ( andaikata upaya itu sungguh ada) menjadi mentah karena diumumkan secara terbuka. Ini bisa juga dinilai sisi baik bagi rakyat. Hanya saja karena arahnya agak nyenggol pasangan capres/cawapres lain maka Tidak heran jika pasangan capres/cawapres yang lain memprotes pernyataan SBY tersebut. Bahkan pernyataan SBY dianggap semakin memperkeruh suasana.
Saya sendiri lumayan sedih tetapi juga lumayan maklum melihat kelakukan “kekanak-kanakan“ para pemimpin kita - yang lebih memilih berkelahi bahkan pada saat negeri ini dalam situasi yang tidak kondusif seperti ini. Tetapi saya masih berbaik sangka , bahwa tingkah laku “penuh semangat” itu dilakukan karena kecintaan mereka pada negeri ini dengan cara mereka masing-masing.

Mengatasi aksi terorisme memang tidak mudah. Oh iya - Saya tidak urusan pelakunya siapa, mau Islam, Kristen, Budha, Hindu, Khonghucu atau ateis – kalo memang teroris yang sebut saja itu sebagai teroris. Apakah pelakunya mau jambulnya merah atau ungu, apakah dia suka makan bakso atau suka makan tahu gimbal, orangnya gundul atau gonderong itu tidak penting. Yang jelas pelakunya itu teroris titik.

Mengapa disebut teroris ? Karena mengakibatkan kengerian kepada masyarakat banyak, berdampak luas termasuk berdampak pada manusia-manusia yang sebenarnya tidak punya kaitan langsung dengan pihak-pihak yang ingin mereka serang, menyerang warga sipil dan sebagainya. Jadi pelaku bom itu jelas teroris, serangan Amerika ke Irak secara semena-mena juga aksi terorisme , penyerbuan Israel ke Jalur Gaza kemarin-kemarin yang menghujani rakyat sipil Palestina dengan rudal – itu juga aksi terorisme luar biasa. Hanya saja ada aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, ada aksi terorisme yang justru pelakunya adalah Negara. Dampaknya ada yang sedang, ada yang lumayan besar ada juga yang sangat besar. Tetapi intinya , secara substansial : yang namanya teroris ya teroris tidak perduli siapapun pelakunya.

Mengapa mengatasi terorisme selalu tidak mudah ? Karena kompeksitasnya yang sangat besar. Terorisme yang dilakukan pihak yang berkuasa biasanya terkait dengan keinginan memperluas kekuasaan, nafsu ekonomi dsb. Sedangkan Terorisme yang dilakukan oleh warga masyarakat biasanya terkait dengan perasaan diperlakukan tidak adil. Selama ada seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil, atau lebih luas lagi selama ada seseorang yang merasa manusia termasuk manusia-manusia lain diperlakukan tidak adil – maka terorisme akan selalu ada. Jadi sedikit banyak aksi terorisme memang terkait dengan persepsi pelakunya terhadap ketidakadilan yang dideritanya maupun yang diderita oleh rekan-rekannya. Perasaan semacam itu bercampur baur dengan keyakinan ideologis termasuk agama, ada pembenaran sepihak – kemudian kebetulan ada situasi yang mendukung, ada pemicunya kemudian endingnya : BUUUUMMM , terjadilah aksi. Karena aksi terorisme cenderung terkait dengan persepsi seseorang akan ketidakadilan, maka rasanya mustahil menghapus terorisme sama sekali, apalagi ketidakadilan itu sifatnya sangat luas, termasuk persepsi ketidakadilan global.

Sebagai contoh : Anggap saja di RT 3 RW 5 kelurahan Gundul Gundul Pacul relatif baik kondisinya , relatif adil dan sebagainya , tetapi bisa saja ada seseorang idealis yang melihat adanya ketidakadilan luar biasa di RT3 RW 7 kelurahan Topeng Monyet. Dalam tahap awal dia mungkin sedih , prihatin, dan melalui proses tertentu yang tidak sebentar, dia bisa jadi “terketuk ingin membantu” bagaimanapun caranya - termasuk sisi jeleknya : membantu dengan cara-cara yang tidak konvensional. Seorang Teroris bisa saja terkait dengan kebodohan, pendidikan yang jelek, kemiskinan dan sebagainya. Tetapi kalau dilihat dari sisi pelakunya tidak selalu demikian. Intinya ada sisi idealisme yang berlebihan , ada justifikasi, ada pembenar - baik dari sisi ideologi atau agama termasuk dalam memakai segala cara dalam mencapai tujuan, ada proses tertentu yang berjalan kemudian ada pemicu, maka Jadilah apa yang seharusnya tidak terjadi.

Kalau kita bicara idealisme para teroris, maka idealisme mengenai ketidakadilan itu sendiri terbagi dua :
Teroris tipe pertama : Karena merasa ada ketidakadilan, maka tujuannya adalah bagaimana melakukan sesuatu yang menurut mereka bisa mewujudkan keadilan, memakai cara apa saja bahkan diperbolehkan memakai cara ekstrim sekalipun.
Sedangkan Teroris tipe kedua pemikirannya lebih gaswat lagi : Karena merasa ada perlakuan tidak adil, maka agar adil karena keadilan sejati tidak bakal pernah dicapai – bagaimana caranya supaya ketidakadilan itu juga bisa dirasakan oleh manusia-manusia lain, yang selama ini dalam persepsinya telah diuntungkan atau setidaknya tidak berempati terhadap ketidakadilan demi ketidakadilan yang terjadi. “Ketidakadilan Telah terjadi, maka agar ada keadilan - kita sebarkan ketidakadilan secara merata. “

Bila teroris pertama beranggapan : Jika ada ketidakadilan , bagaimana supaya timbul keadilan, terlepas bagaimanapun caranya. Teroris kedua beranggapan : Karena saya/rekan saya/kaum saya telah diperlakukan tidak adil, mengapa saya harus berlaku adil kepada pihak-pihak lain. Karena kami telah diperlakukan tidak adil, maka kami juga tidak merasa perlu berlaku adil kepada siapapun. Jika saya/kaum saya merasa sakit, maka lebih baik jika orang lain juga merasakan bagaimana rasanya sakit.

Jika dalam persepsi saya : A = 5 dan B = 100, maka agar ada keseimbangan antara A dan B, ada beberapa kemungkinan yang mungkin saya lakukan. Yang pertama adalah membuat A dari 5 jadi 100, terlepas bagaimanapun caranya. Atau sebaliknya karena rasanya tidak mungkin/lebih sulit mengubah 5 jadi 100 , maka lebih masuk akal jika kita upayakan B = 100 menjadi B = 5 atau setidaknya kita kurangi, agar B bisa merasakan bagaimana tidak enaknya A = 5. Bisa saja kedua pemikiran itu dikombinasikan A ditingkatkan, B dikurangi dan sejenisnya.

Atau bisa saja pemikirannya malah lebih ekstrim lagi : karena A = 5 tidak dibantu, tidak ada empati dan sebagai - bagaimana caranya agar B, C, D, E, F serta lainnya kita buat juga = 5 , kita gangguin saja agar bisa merasakan bagaimana rasanya A= 5. Jika A nggak enak, mengapa yang lain boleh enak? Jika rakyat Kelurahan Baju Kembang-kembang menderita luar biasa, mengapa rakyat di tempat lain tidak boleh menderita? Lebih-lebih untuk mereka yang selama ini terkesan hidup bermewah-mewah dan terkesan tidak perduli dengan kesengsaraan rakyat Kelurahan Baju Kembang, mereka harus ikut merasakan bagaimana rasanya penderitaan Baju Kembang.

“Kamu memang mungkin memang bukan penyebab penderitaan kami, tetapi karena kamu senang dan kami susah, kamu menikmati kesenangan tanpa perduli kesusahan kami - lalu mengapa kami harus perduli terhadap kesusahan kamu. Jika kami tidak mungkin menghilangkan kesusahan kami, mungkin lebih baik jika kamu kami buat sama susahnya dengan kami“

Selain masalah teknis : Karena Banyak Warga Asing tinggal di situ - mungkin karena alasan psikologis inilah yang membuat hotel mewah, dan tempat-tempat diskotik menjadi target serangan. Karena tempat-tempat semacam itu dipandang sebagai tempat simbol kemewahan yang tidak sinkron dengan penderitaan manusia.
Kami menderita kok kalian malah bersenang-senang, awas akan kami buat kalian merasakan menderita - agar kalian bisa merasakan bagaimana rasanya manusia-manusia yang menderita.

Karena persepsi semacam itu tentu saja tidak mudah dihilangkan - maka akar terorisme bagaimanapun pasti akan selalu ada. Pemberantasan terorisme yang terlalu lunak, mungkin akan menyuburkan terorisme, karena memberikan ruang gerak. Tetapi pada sisi lain, pemberantasan terorisme yang terlalu keras dan berlebihan, sangat mungkin menimbulkan perasaan ketidakadilan baru yang berpotensi menjadi bibit-bibit teroris baru di masa depan. Terorisme menghasilkan kontraterorisme, kontra terorisme yang berlebihan menghasilkan terorisme yang lebih besar lagi sehingga menimbulkan lingkaran setan.

Yang ideal tampaknya upaya yang proporsional, terukur, terkontrol dan sedang-sedang saja. Tetapi memang merumuskan definisi sedang dan proporsional itu sendiri juga tentu tidak mudah. Ditambah lagi upaya mewujudkan keadilan secara lokal dan keadilan global sama sekali tidak mudah karena terkait dengan hasrat kekuasaan dan ekonomi masing-masing Negara dan masing-masing manusia. Tetapi bagaimanapun upaya mengatasi terorisme termasuk mengatasi ketidakadilan sistemis dan global yang menjadi akar terorisme rasanya cukup berharga untuk dikampanyekan bersama.

Karena ketidakadilan bagaimanapun juga pasti selalu terkait dengan persepsi seseorang yang pasti tidak mungkin sama, ada juga masalah justifikasi terhadap perbuatan yang merugikan pihak lain - maka upaya komunikasi yang terus menerus, dialog berkelanjutan juga perlu diupayakan, serta upaya pencerahan juga perlu dilakukan oleh pemuka masing-masing agama dan juga tokoh masyarakat.


SALAM


0 komentar:







Posting Komentar

Terimakasih telah Berkunjung ....Ditunggu Komentarnya Lho....Silahken Silahken.... ^_^